Ekonomi Koperasi: Bab 12
BAB 12
Pada waktu krisis moneter dan ekonomi
menghantam Indonesia, ternyata BUMS dan BUMN/BUMD banyak yang gulung tikar,
meninggalkan hutang yang begiti besar. Usaha kecil, Menengah dan Koperasi
(UKMK) yang biasanya dianggap tidak penting dan disepelekan justru sebagian
besar dapat eksis dalam menghadapi badai krisis. Dengan demikian sector yang
disebut belakangan (UKMK) dapat menjadi pengganjal untuk tidak terjadinya
kebangkrutan perekonomian, bahkan sebaliknya dapat diharapkan sebagai motor
penggerak roda perekonomian nasional untuk keluar dari krisis. Sebagai missal
banyak peluang pasar yang semula tertutup sekarang menjadi terbuka. Contohnya,
akibat mahalnya harga obat, yang sebagian besar masih diimpor, produsen jamu
(ada membentuk koperasi) mendapat kesempatan memperlebar pasarnya dari pangsa
yang lebih menyerupai “ceruk pasar” menuju kepada pasar yang lebih bermakna.
Seandainya globalisasi benar-benar terwujud sesuai dengan sekenario terjadinya
pasar bebas dan persaingan bebas, maka bukan berarti tamatlah riwayat koperasi.
Peluang koperasi untuk tetap berperan dalam percaturan perekonomian nasional
dan internasional terbuka lebar asalkan koperasi dapat berbenah diri menjadi
salah satu pelaku ekonomi (badan usaha) yang kompetitif dibandingkan pelaku
ekonomi lainnya. Tantangan untuk pengembangan masa depan memang relative berat,
karena kalau tidak dilakukan pemberdayaan dalam koperasi dapat tergusur dalam
percaturan persaingan yang makin intens dan mengglobal. Kalu kita lihat
cirri-ciri globalisasi dimana pergerakkan barang, modal dan uang demikian bebas
dan perlakuan terhadap pelaku ekonomi sendiri dan asing(luar negeri)sama, maka
tidak ada alasan lagi bagi suatu Negara untuk menidurkan para pelaku ekonomi
(termasuk koperasi)yang tidak efisien dan kompetitif.
Untuk menghadapinya, koperasi di Indonesia
perlu :
• koperasi produsen atau koperasi yang
bergerak di bidang produksi,
• koperasi konsumen atau koperasi konsumsi,
dan
• koperasi kredit dan jasa keuangan
1. Koperasi produksi harus merubah strategi
kegiatannya dengan mereorganisasi
kembali supaya
kompatibel dengan tantangan yang dihadapi.
2. Pemahaman pengurus dan anggota akan jati
diri koperasi, pengertian koperasi,
nilai-nilai koperasi
dan prinsip-prinsip gerakan koperasi harus dijadikan point
penting karena hal itu
yang mendasari segala aktifitas koperasi. Aparatur
pemerintah terutama
departemen yang membidangi masalah koperasi perlu pula untuk
memahami secara utuh
dan mendalam mengenai perkoperasian.
3. Dalam menjalankan usahanya, pengurus
koperasi harus mampu mengidentifikasi
kebutuhan kolektif
anggotanya dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk
menemukan kebutuhan
kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik.
Dengan
mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat dimungkinkan
kebutuhan kolektif
setiap koperasi berbeda-beda.
4. Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan
dalam mengelola koperasi. Disamping
kerja keras, figur
pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur
serta transparan.
5. Kegiatan koperasi bersinergi dengan
aktifitas usaha anggotanya.
6. Adanya efektifitas biaya transaksi antara
koperasi dengan anggotanya sehingga
biaya tersebut lebih
kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan
oleh lembaga non-koperasi referensi.
Animo masyarakat yang tinggi
terhadap produk koperasi menyebabkan koperasi mengalami pertumbuhan yang pesat
saat ini, pertumbuhan ini diikuti dengan persaingan yang kompetitif antar
koperasi.
Untuk dapat unggul dalam
persaingan koperasi harus memiliki strategi yang tepat. Memperbaharui produk,
meningkatkan pelayanan dan pengelolaan koperasi yang transparan. Disamping itu
dibutuhkan alat yang dapat membantu yang dapat mengakomodasi kegiatan
administrasi, pelayanan yang cepat dan pembuatan laporan yang cepat dan tepat
yang dapat digunakan oleh pimpinan dalam mengambil keputusan yang tepat
mengenai kebijakan dan strategi koperasi ke depan. Alat bantu yang dimaksud
adalah Sistem Informasi Manajemen Koperasi.
Peranan sebuah koperasi kini
bukan lagi hanya dinikmati para anggotanya. Masyarakat luas tanpa harus menjadi
anggota koperasi pun bisa memanfaatkannya. Melihat ketatnya persaingan
antarkoperasi dalam melakukan penawaran berbagai layanan, masyarakat harus jeli
dan selektif.
Berbagai paket program bantuan
dari pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT),
pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan besar ke Koperasi, skim program
KUK dari bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial
dari perbankan, juga paket program dari Permodalan Nasional Madani (PNM), terus
mengalir untuk memberdayakan gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan
program, ada institusi khusus yang menangani di luar Dekopin, yaitu Menteri
Negara Urusan Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil Menengah), yang seharusnya
memacu gerakan ini untuk terus maju.
Namun, kenyataannya, Koperasi
masih saja melekat dengan stigma ekonomi marjinal, pelaku bisnis yang perlu
dikasihani, pelaku bisnis pupuk bawang, pelaku bisnis tak profesional. Masalah
tersebut tidak bisa dilepaskan dari substansi Koperasi yang berhubungan dengan
semangat. Dalam konteks ini adalah semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Jadi, bila Koperasi dianggap kecil, tidak berperan, dan merupakan kumpulan
serba lemah, itu terjadi karena adanya pola pikir yang menciptakan
demikian.Singkatnya, Koperasi adalah untuk yang kecil-kecil, sementara yang menengah
bahkan besar, untuk kalangan swasta dan BUMN.
Di sinilah terjadinya
penciptaan paradigma yang salah. Hal ini mungkin terjadi akibat gerakan
Koperasi terlalu sarat berbagai embel-embel. Definisi yang melekat jadi
memberatkan, yakni organisasi sosial yang berbisnis ataulembaga ekonomi yang
mengemban fungsi sosial. Berbagai istilah apa pun yang melekat, sama saja,
semua memberatkan gerakan Koperasi dalam menjalankan visi dan misi bisnisnya.
Mengapa tidak disebut badan usaha misalnya, sama dengan pelaku ekonomi-bisnis
lainnya, yakni kalangan swasta dan BUMN, sehingga ketiganya memiliki kedudukan
dan potensi sejajar.
Padahal, persaingan yang
terjadi di lapangan demikian ketat, tak hanya sekadar pembelian embel-embel.
Hanya kompetisi ketat semacam itulah yang membuat mereka bisa menjadi pengusaha
besar yang tangguh dan profesional. Para pemain ini akan disaring secara alami,
mana yang efisien dalam menjalankan bisnis dan mereka yang akan tetap
eksis.Koperasi yang selama ini diidentikkan dengan hal-hal yang kecil,
pinggiran dan akhirnya menyebabkan fungsinya tidak berjalan optimal.
Memang pertumbuhan Koperasi
cukup fantastis, di mana di akhir tahun 1999 hanya berjumlah 52.000-an, maka di
akhir tahun 2000 sudah mencapai hampir 90.000-an dan di tahun 2007 ini terdapah
hamper 95.000 Koperasi di Indonesia. Namun, dari jumlah yang demikian besar
itu, kontribusinya bagi pertumbuhan mesin ekonomi belum terlalu signifikan.
Koperasi masih cenderung menempati ekonomi pinggiran (pemasok dan produksi),
lebih dari itu, sudah dikuasai swasta dan BUMN. Karena itu, tidak aneh bila
kontribusi Koperasi terhadap GDP (gross domestic product) baru sekitar satu
sampai dua persen, itu adalah akibat frame of mind yang salah. (www.slideshare.net/cetakarikel.php?)
Di Indonesia, beberapa
Koperasi sebenarnya sudah bisa dikatakan memiliki unit usaha besar dan beragam
serta tumbuh menjadi raksasa bisnis berskala besar. Beberapa Koperasi telah
tumbuh menjadi konglomerat ekonomi Indonesia, yang tentunya tidak kalah jika
dibandingkan dengan perusahaan swasta atau BUMN yang sudah menggurita, namun
kini banyak yang sakit. Omzet mereka mencapai milyaran rupiah setiap bulan.
Konglomerat yang dimaksud di sini memiliki pengertian: Koperasi yang
bersangkutan sudah merambah dan menangani berbagai bidang usaha yang menguasai
hajat hidup orang banyak dan merangsek ke berbagai bidang usaha-bisnis
komersial.
Beberapa hal mendasar dalam UU
Koperasi No. 12/ 1967 adalah tentang perkataan “kesadaran berpribadi”
(individualita menurut istilah Bapak Koperasi) dan “kesetiakawanan”
(kolektivita menurut istilah Bapak Koperasi), yang merupakan landasan mental
bagi para koperasiwan, yang satu memperkuat yang lain. Namun, landasan mental
ini justru dicabut oleh UU Koperasi No. 25/1992. Maka rusaklah koperasi.
Jadilah koperasi berwatak homo economicus mengabaikan moralitas sebagai homo
socius yang wajib ber-ukhuwah. Inilah sebabnya koperasi yang bertitik-tolak
pada “saling bekerjasama”, menolak persaingan ala pasar-bebas, yaitu persaingan
yang saling mematikan. Bagi koperasi, persaingan sebatas perlombaan, yang kalah
berlomba tetap dipelihara dan diberdayakan. Doktrin koperasi adalah dengan
bekerja sama efisiensi ekonomi dan efisiensi sosial meningkat.
Perekonomian pada masa
kini yang lebih mengarah kepada ekonomi global, memungkinkan semua perusahaan
bisa memasuki pasar diluar batas – batas negara, hal ini merupakan peluang bagi
dunia usaha jika mampu memamfaatkannya atau ancaman jika kita tidak bisa
memamfaatkannya.
Globalisasi ekonomi di
tandai dengan proses liberalisasi perdagangan dan investasi ekonomi pasar
bebas, mengharuskan setiap elemen ekonomi untuk melakukan perubahan. Disadari
atau tidak kenyataan akan datangnya era tersebut, mengharuskan setiap negara
untuk mengubah arah kebijakan ekonominya. era globalisasi dalam skema
perdagangan bebas cepat atau lambat mengakibatkan perubahan ekonomi
dunia.
Akibat yang diterima oleh
negara berkembang adalah ketidakstabilan ekonomi dalam negeri, karena
keharusan melakukan perubahan mendasar dalam sistem ekonomi dunia tidak dapat
terelakan.daya dukung perkonomian suatu negara terdapat pada efektivitas
perilaku ekonomi negara yang bersangkutan. Pelaku ekonomi utama yang menjadi
perdebatan dalam konteks era perdagangan bebas adalah koperasi.
Di kebanyakan negara
berkembang, peranan pemerintah nampak menonjol yang mengakibatkan
ketergantungan dan kegagalan koperasi untuk mandiri. Sebagai bagian dari sistem
ekonomi, koperasi memerlukan kesempatan untuk bekerja sebagai suatu sistem
dalam upaya memberikan gerakan untuk mandiri (otonomi) karena secara tidak
langsung otonomi merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk menegakkan prinsip
koperasi, demokrasi dalam koperasi, dan kemandirian dalam koperasi itu sendiri.
Prospek masa depan
koperasi sebagai suatu badan usaha yang diharapkan menjadi soko guru
perekonomian seperti amanat konstitusi negara ( UUD 45) sangat ditentukan oleh
mampu tidaknya kemandirian dilaksanakan untuk menjawab tantangan dan ancaman.
Sementara dilihat dari fungsi badan usaha, ketangguhan koperasi dapat di
ukur oleh kemampuannya dalam mengembangkan dan menguasai pasar. Koperasi harus
mampu memberikan alternatif rasional bagi pelanggannya (anggota) melalui
berbagai kebijakan insentif usaha maupun perbaikan dalam teknis pelayanan
pelanggan.
Pelayanan mengandung
pengertian setiap kegiatan atau manfaat yang diberikan oleh suatu pihak yang
pada dasarnya tidak berwujud dan tidak pula berakibat kepemilikan sesuatu
(Kotler, 2008: 83). Pengertian yang lebih luas juga disampaikan oleh Daviddow
bahwa pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan.
Ada dua faktor yang
dijadikan pedoman anggota yaitu layanan yang diterima dan harapannya tentang
layanan yang akan diberikan. Ketika anggota memutuskan untuk bertransaksi dalam
bentuk apapun pada koperasi sebenarnya mereka sudah mempunyai harapan tentang
layanan seperti apa yang akan diperoleh berdasarkan pengalamannya, komunikasi
dari mulut - kemulut yang pernah didengarnya, informasi lain yang pernah
diterima serta dipengaruhi oleh kebutuhannya. Selain dipengaruhi oleh
pengalaman, harapan yang ada pada pelanggan koperasi atau anggota koperasi juga
dipengaruhi oleh komunikasi eksternal yang dilakukan oleh pengurus atau
pengelola mengenai koperasi kepada anggota atau masyarakat. Dalam hal ini
diperlukan pentingnya promosi yang sesuai dengan kenyataan karena jika tidak
memuaskan layanan akan mengecewakan, oleh karena itu diperlukan komunikasi
pemasaran yang dilakukan secara tepat agar dapat memenuhi kebutuhan serta
keinginan dari aparat anggota.
Sebuah perusahaan yang
didirikan tak ada artinya tanpa adanya pelanggan.’’ Tujuan perusahaan adalah
untuk menciptakan pelanggan’’, demikian yag dikatakan peter drucker (1994:4).
Dari pendapat di atas
dapat dipahami bahwa pelanggan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan
oleh perusahaan. Pada organisasi koperasi, pelanggannya adalah anggota sendiri,
menurut Ropke, jochen (1985) koperasi merupakan organisasi yang anggotanya
sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pelanggan . upaya untuk menciptakan dan
mempertahankan pelanggan hendaknya menjadi prioritas yang lebih besar bagi
perusahaan. Lebih dari itu hendaknya perusahaan juga terus berupaya agar
pelanggan dapat menjadi pelanggan yang loyal. Salah satu upaya untuk
menciptakan, mempertahankan, dan meningkatkan hubungan yang lebih baik dengan
pelanggan adalah dengan cara memberikan pelayanan yang berkualitas secara
konsisten dan lebih baik, serta memberikan pelayanan yang lebih unggul dari
pada pesaing. Intinya, ‘’bagaimana menciptakan performance yang memenuhi
atau melebihi harapan pelanggan.
Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap loyalitas anggota koperasi
A. Keanggotaan koperasi
Menurut UU Nomor 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian, pengertian Koperasi adalah badan usaha yang
beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi
rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi adalah suatu
perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan yang memberikan kebebasan
masuk dan keluar sebagai anggota, dengan bekerja sama secara kekeluargaan
menjalankan usaha, untuk mempertinggi kesejahteraan para anggotanya (Arifinal
Chaniago, 1984: 1). Pendapat senada dengan pendapat Ropke, jochen (1985) yakni
koperasi merupakan organisasi yang anggotanya sebagai pemilik dan sekaligus
sebagai pelanggan.
B. Kualitas
Pelayanan
Pelayanan pada hakikatnya
adalah serangkaian kegiatan dalam proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas
orang lain, oleh karena itu pelayanan merupakan proses. Sebagai prose,
pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan (Moenir, 1995: 27).
Sagimun dalam Purwanti (1999: 5) pelayanan adalah pemenuhan kebutuhan
anggotanya baik pemenuhan material maupun spiritual. Kotler (1998: 83)
merumuskan pelayanan sebagai tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh
satu pihak ke pihak yang lain secara prinsip intangible dan
tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Menurut Olsen dan Wyekoff
dalam Yamit (2001: 22) kualitas pelayanan merupakan suatu perbandingan antara
harapan pemakai jasa dengan kinerja kualitas jasa pelayanan. Dengan kata lain
ada dua factor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu harapan dan
kinerja yang dirasakan karyawannya.
Syafrizal dalam jurnal Kualitas Pelayanan dalam Kepuasan Pelanggan (2008),
kualitas pelayanan merupakan penyampaian secara excellent atau superior
pelayanan yang ditujukan untuk memuaskan pelanggan sesuai dengan persepsi dan
harapannya. Kepuasan pelanggan akan tercapai bila kualitas pelayanan yang
dirasakan oleh pelanggan sama dengan jasa yang diharapkan, dalam arti
kesenjangan yang terjadi adalah kecil atau masih dalam batas toleransi.
C. Dimensi Kualitas Pelayanan
Menurut Parasuraman (1998: 77), bahwa
terdapat lima dimensi kualitas pelayanan yaitu sebagai berikut:
1. Tangibles,
atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu organisasi dalam menunjukkan
eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan
prasarana fisik organisasi dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata
dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas fisik
(gedung), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (tekhnologi), serta
penampilan pegawainya.
2. Reliability,
atau keandalan yaitu kemampuan organisasi (perusahaan) untuk memberikan
pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus
disesuaikan dengan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama
untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap simpatik.
3. Responsiveness,
atau tanggapan yaitu kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang
cepat dan tepat kepada pelanggan, penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan
konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan
persepsi yang negative dalam kualitas pelayanan.
4. Assurance,
atau jaminan dan kepastian yaitu, pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan
pegawai untuk menumnbuhkan rasa percaya para pelanggan perusahaan (organisasi).
Dimana jaminan ini terdiri dari beberapa komponen antara lain: komunikasi,
keamanan kompetensi, dan sopan santun.
5. Empaty,
yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau bersifat
pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan
konsumen. Dimana suatu perusahaan (organisasi) diharapkan memiliki pengertian
dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan secara spesifik, serta
memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. Menurut Moenir (1995:
40), banyak kemungkinan tidak adanya layanan yang memadai antara lain:
a. Tidak/kurang
adanya kesadaran terhadap tugas atau kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.
Akibatnya mereka bekerja dan melayani seenaknya.
b. Sistem,
prosedur dan metode kerja yang ada tidak memadai sehingga mekanisme kerja tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
c. Pengorganisasian
tugas pelayanan yang belum serasi, sehingga terjadi simpang siur penanganan
tugas, tumpang tindih atau tercecernya suatu tugas tudak ada yang menangani.
d. Pendapatan
pegawai tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Akibatnya pegawai tidak tenang
dalam bekerja, berusaha mencari tambahan pendapatan dalam jam kerja.
e. Kemmapuan
pegawai yang tidak memadai untuk tugas yang dibebankan kepadanya. Akibatnya
hasil pekerjaan tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan.
f. Tidak
tersedianya sarana pelayanan yang memadai, yang mengakibatkan pekerjaan menjadi
lamban, waktu banyak yang hutang dan penyelesaian masalah terlambat.
Dimensi-dimensi kualitas pelayanan yang telah dikemukakan diatas, harus
dilaksanakan dengan baik. Apabila tidak hal tersebut menimbulkan kesenjangan
antara organisasi (perusahaan) dan pelanggan karena perbedaan persepsi mereka
tentang wujud pelayanan. Menurut Rambat Lupiyoadi (2001: 150). Lima
kesenjangan (gap) yang menyebabkan adanya perbedaan persepsi
mengenai kualitas pelayanan sebagai berikut:
1. Gap
Persepsi Manajemen
Yaitu adanya perbedaan
antara penilaian pelayanan menurut pengguna jasa dan persepsi managemen
mengenai harapan pengguna jasa.
2. Gap
Spesifikasi Kualitas
Yaitu kesenjangan antara
persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa dan spesifikasi kualitas
jasa. Kesenjangan terjadi antara lain karena tidak memadainya komitmen
manajemen terhadap kualitas jasa, persepsi mengenai ketidaklayakan, tidak
memadainya standarisasi tugas dan tidak adanya penyusunan tujuan.
3. Gap
Penyampaian Pelayanan
Yaitu kesenjangan antara
spesifikasi kualitas dan penyampaian jasa. Kesenjangan ini terutama disebabkan
oleh faktor-faktor sebagai berikut:
a. Ambisius
peran, yaitu sejauh mana pegawai dapat melakukan tugas sesuai dengan harapan
pelanggan.
b. Konflik
peran, yaitu sejauh mana pegawai meyakini bahwa mereka tidak memuaskan semua
pihak.
c. Kesesuaian
pegawai dengan tugas yang harus dikerjakannya.
d. Kesesuaian
tekhnologi yang digunakan pegawai.
e. Sistem
pengendalian atasan, yaitu tidak memadainya system penilaian dari system
imbalan.
f. Perceived
control yaitu
sejauh mana pegawai merasakan kebebasan atau fleksibilitas untuk menentukan
cara pelayanan.
g. Team
work yaitu
sejauh mana pegawai dan managemen merumuskan tujuan bersama di dalam memuaskan
pelanggan secara bersama-sama dan terpadu.
4. Gap
Komunikasi
Yaitu kesenjangan antara
penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Kesenjangan ini terjadi karena tidak
memadainya komunikasi horizontal dan adanya kecenderungan untuk memberikan
janji yang berlebihan. Dalam hal ini komunikasi eksetrnal telah mendistorsi
harapan pelanggan.
5. Gap
dalam pelayanan yang dirasakan
Adalah perbedaan persepsi antara jasa yang
dirasakan dan yang diharapkan oleh pelanggan (Rambat Lupiyoadi 2001: 151).
D.
Pengembangan Kualitas Pelayanan
Salah satu konsep yang dimiliki kaitan erat dan berdampak langsung terhadap
keberhasilan pendekatan kualitas pelayanan adalah system computer. Dalam usaha
meningkatkan pelayanan, tiap organisasi haruslah memperhatikan dan mendengarkan
pendapat yang dikeluarkan oleh pelanggan mengenai jasanya (Berry dan
Parasuraman, 1997: 79). Dalam mengembangkan kualitas pelayanan yang efektif
melalui system informasi, ada lima petunjuk yang perlu dilakukan (Berry dan
Parasuraman, 1997: 80) :
a. Mengukur
besarnya harapan pelanggan atas pelayanan. Perusahaan atau suatu organisasi
harus dapat mengukur besarnya harapan yang muncul atas pelayanan yang diberikan
kepada pelanggan.
b. Menentukan
di mana titik berat kualitas informasi. Perusahaan atau organisasi harus mampu
menetapkan titik berat kualitas informasi yang ingin dicapai. Penitikberatan
kualitas informasi pada proses keputusan pihak manajemen yang berkaitan dengan
peningkatan pelayanan yang diharapkan.
c. Mengetahui
saran pelanggan. Perusahaan atau organisasi dituntut untuk dapat mendengarkan
dan memahami saran pelanggan mengenai produk atau jasanya.
d. Menghubungkan
kinerja pelayanan dan output yang dihasilkan oleh perusahaan. Organisasi
diharapkan mampu mengkaitkan kinerja pelayanan dengan tujuan organisasi. Dapat
disimpulkan bahwa koperasi harus mampu memberi alternatif rasional bagi
pelanggannya (anggota) melalui berbagai kebijakan insentif usaha maupun
perbaikan dalam teknis pelayanan pelanggan. Sehingga indikator yang digunakan
pada variabel kualitas pelayanan ini adalah:
1) Ketepatan
waktu dalam memberikan pelayanan.
2) Kesesuaian
dalam hasil pelayanan yang diberikan.
3) Pemberian
fasilitas-fasilitas yang dapat menunjang.
E. loyalitas
pelanggan
Mendapatkan anggota yang
loyal merupakan keinginan setiap organisasi koperasi yang ingin sukses dalam
jangka panjang. Akan tetapi untuk memperoleh pelanggan atau anggota yang loyal
bukan pekerjaan mudah. Untuk itu diperlukan langkah – langkah dan tahapan yang
harus dilakukan serta sejumlah faktor yang ikut mempengaruhinya.
Menurut oliver (1997)
bahwa definisi loyalitas pelanggan (costumer loyality) adalah suatu komitmen
untuk bertahan secara mendalam dengan melakukan pembelian ulang atau
berlangganan kembali dengan produk atau pelayanan yang terpilih secara
konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha – usaha
pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku.
Jika dilihat dari
definisi yang di kemukakan oliver tersebut dapat dikatakan bahwa pelanggan yang
loyal mempunyai semacam fanatisme yang relatif permanen dalam jangka panjang
terhadap suatu produk perusahaan yang menjadi pilihannya.
F. karakteristik pelanggan yang loyal
Adapun karakteristik pelanggan yang loyal menurut Griffin (1995: 31) adalah :”
melakukan pembelian secara teratur,(2) membeli diluar lini produk atau
pelayanan, (3) merekomendasikan pada orang lain , dan (4) menujukan ketahanan
dari daya tarik pesaing (tidak terpengaruh) oleh daya tarik produk sejenis dari
pesaing”.
Semua karakteristik di atas dapat terwujud, jika pelanggan yang menggunakan
produk/pelayanan tertentu merasa terpuaskan oleh produk atau layanan tersebut.
Pelanggan yang puas terhadap kualitas pelayanan yang baik akan senang melakukan
pembelian atau mengguanakan pelayanan secara berulang – ulang, lebih lanjut
mereka akan dengan mudah merekomendasikan kepada orang lain mengenai keunggulan
suatu produk atau pelayanan. Bahkan menurut Hermawan Kartajaya mengatakan bahwa
“orang (pelanggan) yang setia (loyal) akan tetap membeli kendati harga
lebih mahal,bisa mengajak orang lain untuk membeli kendati harga lebih mahal,
bisa mengajak orang lain membeli brand tersebut, tidak bisa melihat brand lain,
bahkan mau dimamfaatkan jika suatu saat terjadi brand erosion.
G. tingkatan
loyalitas pelanggan
Untuk menjadi pelanggan yang loyal, seseorang harus melalui beberapa tahap,
proses ini berlangsung lama dengan penekanan dan perhatian yang berbeda untuk
masing – masing tahap, karena setiap tahap mempunyai kebutuhan yang berbeda.
Perusahaan akan memiliki peluang yang lebih besar untuk membentuk calon pembeli
menjadi pelanggan yang loyal, jika peruasahaan memperhatikan masing – masing
tahap dan memenuhi kebutuhan setiap tahapan tersebut. Griffin (1995:35) dan
Hill (1996:60) menyatakan bahwa “tahapan atau tingkatan loyalitas pelanggan
secara rangking dan merupakan suatu komitmen dimulai dari suspects, prospects,
firt time custumer, repaed costumer, client, advocate sampai dengan partners”
Suspects meliputi semua orang yang diyakini untuk membeli atau membutuhkan
produk/pelayanan, akan tetapi orang tersebut belum mendapatkan informasi
mengenai produk/pelayanan peruasahaan, neniliki daya beli dan mempunyai
informasi dari rekomendasi word of mouth. First time costumer yaitu pelanggan
yang membeli untuk yang pertama kalinya, mereka masih menjadi konsumen baru.
Repead costumer yaitu pelanggan yang telah melakukan pembelian dua kali atau
lebih terhadap produk atau pelayanan perusahaan yang sama. Client yaitu
pelanggan yang telah membeli semua barang yang dibutuhkan dan ditawarkan
perusahaan, secara teratur dan hubungan ini berlanggsung lama, dan mereka
memiliki sifat retention. Advocate yaitu para client yang sudah sedemikian
merasakan kepuasan sehingga menceritakan kepada pihak lain, sebagai pemberi
rekomendasi word of mout, dan ikut serta memasarkan produk/pelayanan
perusahaan. Partner (sebuah partnership) merupakan suatu kekuatan dari hubungan
antara pelanggan dan suplier yang berkelanjutan sebab keduanya meliha adanya
mamfaat bersama.
H. Hubungan
Kualitas pelayanan dengan loyalitas pelanggan
Pada dasarnya tujuan akhir dari perusahaan adalah menciptakan kepuasan
pelanggan. Pelanggan yang terpuaskan oleh pengguna produk atau pelayanan
perusahaan merupakan modal dasar bagi perusahaan. Terciptanya kepuasan
pelanggan dapat bermamfaat bagi terciptanya hubungan yang harmonis antara
perusahaan dan pelanggan, memberikan dasar yang baik untuk pembelian ulang oleh
pelanggan, terciptanya loyalitas pelanggan, dan membentuk suatu rekomendasi
dari mulut ke mulut (word of mout) yang menguntungkan bagi perusahaan fandy
Tjiptonoo, 1998: 24).
Dalam kaitanya dengan kualitas , kortler dalam fandy Tjiptono (1998:24)
mengatakan bahwa “kualitas harus di mulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir
pada persepsinya pelanggan”. Hal ini berarti citra kualitas yang baik bukanlah
dari penilaian perusahaan, melainkan dari persepsi pelanggan. Sejalan dengan
pemikiran kortler, di dalam perspektif kualitas antara lain di kenal user based
approach, yaitu kualitas tergantung pada orang yang memandanginya, sehingga
produk yang memuaskan prefensi seseorang ( misalnya perseived quality)
merupakan produk yang berkulitas tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapar di tarik kesimpulan bahwa loyalitas pelanggan
akan tercipta jika perusahaan dapat memberikan kepuasan pelanggan dengan
menyediakan produk yang berkualitas sesuai dengan harapan pelanggan yang pada
akhirnya kualitas suatu produk/ pelayanan perusahaan akan menciptakan loyalitas
pelanggan pada perusahaan.
Dalam kenyataan keinginan
pelanggan dari waktu ke waktu selalu berubah sebagai akibat dari pengalaman
masa lalu (past experince), kebutuhan pribadi (personal nedds), dan percakapan
dari mulut ke mulut (word of mouth), maka sebenarnya kualitas merupakan kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, pelayanan, manusia, proses dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan, sehingga perhatian tehadap
suatu produk tidak lagi hanya terbatas pada produk yang dihasilkan, akan tetapi
pada aspek proses, sumber daya manusia dan lingkungan yang semuanya itu akan
memberi pengaruh terhadapa loyalitas pelanggan.
Untuk memelihara loyalitas pelanggan Griffin (1995:152-156) memberikan konsep
pemasaran yang menggunakan program – program yang memberikan nilai tambah pada
perusahaan dan produknya di mata konsumen. Adapun program progrram yang di
maksud antara lain:
a) Relationship
marketing, yaitu pemasaran yang bertujuan untuk membangun hubungan baik dalam
jangka panjang dengan konsumen.
b) Fruquency
marketing, yaitu pemasaran yang bertujuan membangun komunikasi dan konsumen.
Perusahaan secara berkala membuat pertanyaan seputar produk yang di gunakan
konsumen.
c) Membership
marketing, yaitu mengorganisasikan konsumen ke dalam kelompok keanggotaan atau
klub, yang mendorong mereka melakukan pembelian ulang dan meningkatkan
loyalitas mereka.
REFERENSI
http://eprints.undip.ac.id/13998/1/Eksistensi_Koperasi_Peluang_dan_Tantangan_Di_Era_Pasr_Global....Purbayu_Budi_Santosa_(OK).pdf
http://ayucintyavirayasti.blogspot.com/2011/10/bagaimana-koperasi-menghadapi-era.html
http://www.riaupos.co.id/opini.php?act=full&id=20&kat=1
http://tutshitamputih.blogspot.com/2010/11/bagaimana-koperasi-menghadapi-era.html
Komentar
Posting Komentar